Infokua.com – Apakah Nikah Mutah Halal atau Haram? Mungkin ini yang menjadi pertanyaan kita selama ini. Lalu apa sebenarnya pengertian nikah mutah? Bagaimana hukum nikah mutah tersebut? Dan dalil nikah mutah apa saja?
Sehingga pernikahan ini menjadi polemik, jika haram dan tidak sah pernikahannya, tentunya ada alasannya, dan mengapa nikah mutah dilarang untuk dilakukan dalam Islam?
Lalu, jika pernikahan ini memang tidak diperbolehkan dalam Islam bagaimana sejarah nikah mutah ini bermula? Adakah contoh kasus nikah mutah yang terjadi, sehingga benar-benar pernikahan ini dilarang untuk dilakukan?
Beberapa di atas itu jugalah yang menjadi pertanyaan pertanyaan tentang nikah mutah. Bahkan tak sedikit juga yang mencoba mencari penjelasan jika nikah mutah halal dan boleh dilakukan, apa saja yang menjadi syarat nikah mutah.
Namun jika nikah mutah tidak halal untuk dilakukan apa saja dampak negatif pernikahan mutah ini jika pernikahan tetap dilakukan?
Sebaiknya kita memang benar-benar harus kuatkan dalil nikah mutah ini apa saja, setidaknya menjadi dasar hukum dan penjelasan yang kuat dalam menyampaikan sesuatu hal.
Sebab, urusan pernikahan memang bukan hal sederhana. Pernikahan urusannya bukan hanya antar dua insan yang berbeda jenis kelamin antara laki laki dan perempuan, tetapi juga perkara keimanan antara hamba dan Tuhan-Nya.
Nikah Mutah Halal? Bernarkah? Atau Justru…..
Pengertian nikah mutah adalah pernikahan yang dilakukan seorang lelaki yang menikahi seorang wanita sampai batas waktu tertentu.
Pada zaman Rasulullah SAW, beliau (Rasulullaj) pernah mengizinkan nikah mut’ah ini. Namun dengan beberapa alasan, yakni alasan peperangan.
Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata, “Kami berperang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa membawa serta istri kami.
Kami berkata, ‘Tidakkah sebaiknya kita mengebiri diri kita?’ Namun, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami melakukannya.
Beliau memberi rukhshah untuk kami menikahi perempuan setempat dengan mahar berupa pakaian sampai tempo waktu tertentu.” (HR. al-Bukhari dan Muslim, –pent.)
Pernikahan ini dilakukan dalam waktu sehari atau dua hari. Atau bisa juga sebulan atau dua bulan. Pernikahan ini dilakukan dengan imbalan harta dan lain sebagainya.
Sebenarnya penjelasan ini sudah penulis Info KUA dalam artikel sebelumnya terkait nikah mut’ah. Ini menjawab pertanyaan pertanyaan semacam sebutkan macam macam pernikahan yang dilarang dalam islam?
Dalam penjelasan lanjutan di atas, pernikahan ini terjadi ada masa waktu. Jadi tidak terikat janji suci pernikahan untuk selamanya.
Jadi pernikahan yang terjadi berbatas waktu dan ketika waktunya habis, maka keduanya, pihak lelaki yang menikahi seorang wanita dengan nikah mutah berpisah tanpa talak.
Dalil Nikah Mutah
Salah satu dalil nikah mutah yang bisa menjadi salah satu dasar hukum nikah mutah halal atau tidaknya dapat dijelaskan dalam hal berikut ini:
Seperti yang dijelaskan dan dalam riyawat Nabi Muhammad SAW, bahwasannya beliau (Rasulullah) melarang pernikahan ini pada tahun persitiwa Khaibar.
Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib diriwayatkan: “Bahwa Rasulullah SAW melarang nikah mut’ah dan makan daging keledai piaraan pada masa Khaibar.”
Para ulama sepakat dan menjelaskan bahwasannya hukum nikah mutah tidak sah, dan mahar untuk istri tetap berlaku, jika ia sudah digauli.
Bahkan penjelasan mengapa nikah mutah dilarang untuk dilakukan dalam Islam ini juga telah disepakati seluruh ulama empat mazhab bahwa nikah mutah diharamkan.
Sejarah Nikah Mutah
Namun untuk memperkuat penjelasan, bagaimana dengan sejarah nikah mutah ini terjadi, maka disebut apa saja yang menjadi dasar nikah mutah halal dan nikah mutah tidak sah dilakukan dalam Islam?
Karena memang pernyataan ulama ada yang menyatakan masih perlu ditinjau ulang kebenarannya. Silakan nantinya diperkuat dalil mana yang lebih kuat yang menyatakan nikah mutah halal atau tidaknya.
Karena ada beberapa pernyataan sahabat sahabat nabi tentang pernikahan secara mutah ini. Seperti Imam Ahmad bin Hanbal dalam Kitab Musnad-nya,
Diriwayatkan, Dari Jabir bin Abdillah, dia berkata, ”Kami melakukan mutah di zaman Rasulullah SAW, Abu bakar dan Umar, sampai Umar melarang kami pada akhir masa kekhalifahannya yakni nikah mutah.”
Dijelaskan dalam Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad, j. 22, h. 168, hadis 14268, Penahkik berkata, “Sanadnya sahih sesuai syarat Muslim.”
Tak sampai disini, di dalam kitab yang sama juga disampaikan:
Telah menyampaikan kepada kami ‘Affan, dari Hammad, dari Ali bin Zaid dan ‘Ashim dari Abu Nadhrah dari Jabir bin Abdillah, dia berkata, “Kami melakukan dua mutah pada zaman Rasulullah Saw, mutah haji dan mutah nisa’ atau nikah mutah.
Dalam penyampaian tersebut, dijelaskan Hammad: “Mutah haji dan mutah nisa, tatkala Umar telah melarang kami dari kedua mut’ah tersebut, maka kami pun tidak melakukannya lagi.” (Ibid, juz 23, h. 184, hadis 14916.)
Dan masih banyak penjelasan tentang hal serupa tentang zaman Rasulullah SAW dan Umar melarang nikah mutah.
Namun dalam beberapa kitab dan penjelasan lainnya ada yang menyatakan nikah mutah halal dan diperbolehkan. Misalnya saja seperti Al-Sarkhasi yang mengutip kitab Al-Mabsûth.
Disebutkan bahwasannya, nikah mutah halal diperbolehkan menurut Imam Malik berdasar pernyataan Ibnu ‘Abbas yang merujuk ayat famastamta’tum bihi… dalam QS. Al-Nisâ’ [4]: 24).
Kendati demikian dinyatakan boleh, Al-Sarkhasi tetap menilai bahwasannya nikah mut’ah adalah batil.
Hukum Nikah Mutah
Lalu bagaimana kesimpulan tentang nikah mutah? Penulis mencoba juga mendengar penjelasan Ustad Abdul Somad tentang nikah mutah.
Bahwasannya, menurutnya nikah mutah diharamkan pada tahun ke tujuh dalam peristiwa Khaibar. Pernikahan saat zaman Rasulullah sebelum masa Khaibar saat itu diperbolehkan nikah kontrak saat perang, dan jauh dari istrinya.
Dan istrinya saat itu tidak ada, disitu dia boleh menikah mutah saat perang, dengan menikah dengan seekor kambing sementara pernikahan selesai tunai.
Selesai perang dan pembebasan khaibar tahun ke tujuh sudah tidak ada lagi, ini yang dijelaskan Imam Abi Thalib. Lalu riwayat yang dikutip Imam Asy-Syaukani bahwasannya nikah mutah telah selesai diharamkan nabi sejak tahun ke 7.
Penjelasannya selaras dengan Al-Bukhari dan Muslim yang di atas telah dijelaskan. Yakni terkait riwayatkan dari Ali bin Abi Thalib.
“Bahwa Rasulullah SAW melarang nikah mut’ah dan makan daging keledai piaraan pada masa Khaibar.”
Dalam hal di atas kalau penulis sendiri sepakat akan hukum nikah mut’ah tidak sah. Jadi, jika ditanyakan nikah mutah halal atau tidaknya, jawabannya sudah tidak boleh dilakukan. Soal haram dan tidaknya Wallahu a’lam.
Nikah Mutah Tidak Sah
Jadi, beberapa hal yang harus diketahui dalam hal ini adalah Rasulullah SAW pernah mengizinkan nikah mut’ah. Saat itu dengan alasan peperangan.
Seperti apa yang disampaikan Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata, “Kami berperang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa membawa serta istri kami.
Kami berkata, ‘Tidakkah sebaiknya kita mengebiri diri kita?’ Namun, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami melakukannya.
Beliau memberi rukhshah untuk kami menikahi perempuan setempat dengan mahar berupa pakaian sampai tempo waktu tertentu.” (HR. al-Bukhari dan Muslim, –pent.)
Rasulullah SAW Melaran Nikah Mutah
Lalu Rasulullah SAW melarang nikah mutah pada tahun Perang Khaibar, hal tersebut dijelaskan dalam HR. al-Bukhari dan Muslim, dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu.
Rasulullah SAW bersabda: mengizinkan lagi saat tahun Fathu Makkah sebagaimana disebutkan dalam hadits ar-Rabi’ ibnu Sabrah dari bapaknya.
Kata Sabrah radhiallahu ‘anhu, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah kami melakukan mut’ah pada tahun Fathu Makkah ketika kami masuk kota Makkah.
Tidaklah kami keluar dari Makkah hingga beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami melakukan mut’ah.” (HR Muslim, –pent.), lalu melarangnya.
Diizinkan juga dalam perang Hunain (Perang Hunain terjadi setelah Fathu Makkah), kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya.
Maka dari itu, kaum muslimin semuanya mengharamkan nikah mut’ah. Sebagian sahabat, seperti Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma, membolehkan nikah mut’ah dan menyangka bahwa nikah mut’ah ini dibolehkan karena darurat.
Namun, Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu mengingkari pendapat Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma tersebut. Ali berkata kepada Ibnu Abbas, “Sungguh, kamu adalah orang yang bingung yang keluar dari jalan yang lurus (dalam urusan ini).”
Nikah mut’ah haram sampai hari kiamat. Mereka yang membolehkan nikah mut’ah (orang-orang Syi’ah –pent.) menampakkan bukti terbesar bahwa mereka tidak mengikuti Ali bin Abi Thalib.
Sebab, Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu meriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa mut’ah itu haram sampai hari kiamat.
Ali radhiallahu ‘anhu juga mengingkari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma yang membolehkan mut’ah.
Tak sampai disitu saja, jadi dalam hal ini ‘Hubungan intim’ yang terjadi hasil dari pernikahan mut’ah itu sama saja dengan zina.
Sehingga semua yang berlaku dalam hukuman berzina juga terjadi pada nikah mutah bagi diri pelakunya dalam keadaan dia tahu batilnya mut’ah tersebut”.
Perbedaan Nikah Mut’ah Dengan Nikah Siri
Nikah mut’ah tentu berbeda dengan Nikah Siri, begitu pula dengan Nikah Badal.
Jika nikah mut’ah adalah hubungan pernikahan yang yang terikat pada suatu waktu tertentu, maka nikah siri adalah nikah yang atas dasar kemauan suami, para saksi pernikahan harus merahasiakannya dari orang lain sekalipun kepada keluarganya.
Atau dalam arti lain, nikah siri adalah hubungan pernikahan yang tidak diketahui oleh orang lain selain pasangan tersebut dan saksi nikahnya.
Sama halnya dengan Nikah mut’ah, nikah siri pun haram hukumnya dalam islam, yang didasarkan oleh sabda Rasulullah;
لا نكاح إلا بولي
“Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali.”
Dari beberapa penjelasan artikel di atas, sebenarnya penulis ingin menyarankan, jika memang dalam benak kita sebagai pembaca ada niatan untuk melakukan nikah mutah.
Alangkah baiknya adalah memperbaiki motivasi dalam menikah. Menikah untuk apa? Jadi, pernikahan pernikahan yang tidak diperkenankan sebaiknya tidak dilakukan.
Nikah Mutah, Nikah Misyar, Nikah Siri, Nikah Syighar dan lainnya yang diperbolehkan maupun yang tidak sebaiknya kita ambil yang tidak menimbulkan polemik dilain waktu.
Tak hanya diperbolehkan dalam agama tetapi juga tercatat dalam dokumentasi administrasi pencatatan nikah di negara, baik di Kantor Catatan Sipil maupun di Kantor Urusan Agama.
Contohnya nikah siri jika rukun nikah siri terpenuhi dan sesuai syariat Islam maka pernikahan tetap sah dalam mata agama.
Namun ada dampak nikah siri yang ditimbulkan secara administrasi negara karena pernikahannya tidak tercatat. Tentu ini bisa menjadi pertimbangan tersendiri bagi yang ingin melakukan pernikahannya.
Begitulah sedikit gambarannya dengan ketidakyakinan kita apakah nikah mutah halal atau tidaknya. Jika tidak yakin jangan dilakukan.
Apalagi nikah mut’ah dalam trend di Indonesia sama halnya dengan kawin kontrak. Ini juga ramai terjadi. Tentu patut dipertimbangkan apakah diperbolehkan atau tidak.
Setidaknya kita bisa memahami tentang syariat pernikahan, sehingga kita tidak terjebak dalam kesimpulan semata. Termasuk tentang nikah mutah halal atau tidak? Setidaknya kita bisa menggali lagi informasi selain dari informasi ini.
Sekian yang bisa disampaikan, semoga bermanfaat, terimakasih. Salam.