Infokua.com – Nikah Mutah adalah seorang lelaki yang menikahi seorang perempuan untuk jangka (dalam) waktu tertentu. Namun pertanyaannya apakah nikah mut’ah halal?
Selain itu, adakah dalil tentang nikah mutah dan makalah nikah mut’ah yang menjelaskan bahwa pernikahan ini diperbolehkan dalam Islam ataupun nikah mut’ah menurut syiah.
Lalu, ada tidaknya sejarah nikah mut’ah, begitu juga apakah pernah ada di Indonesia prosesi pernikahan ini. Jadi, dalam analisanya ada beberapa hal yang lebih dalam bisa kita pelajari.
Karena memang nikah mut’ah ini setidaknya bisa kita pelajari secara cermat, karena memang halal tidaknya di waktu zaman perang era Rasulullah bisa jadi tidak halal untuk dilakukan di saat ini.
Maka pahami terlebih dahulu apa pengertian dari nikah mutah. Bagimana cara menikahnya? Apa saja syaratnya? Dan bagaimana menurut pendapat para ulama terkait hukum pernikahannya saat ini?
Jika dinyatakan halal? Atas apa yang menyebabkan pernikahannya menjadi halal? Jika haram, atas apa yang menyebabkannya menjadi haram?
Dalil Apakah Nikah Mutah Halal dan Haram Dilakukan
Beberapa penjelasan menyatakan, bahwa, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan nikah mut’ah ini pada sebagian alasan, antara lain peperangan;
Seperti yang disampaikan Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu. Ia berkata, “Kami berperang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa membawa serta istri kami.
Kami berkata, ‘Tidakkah sebaiknya kita mengebiri diri kita?’ Namun, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami melakukannya.
Lalu, Beliau (Rasulullah) memberi rukhshah untuk kami menikahi (menikah) perempuan setempat dengan mahar berupa pakaian sampai tempo waktu tertentu.” (HR. al-Bukhari dan Muslim, –pent.)
Lalu melarangnya pada tahun Perang Khaibar (HR. al-Bukhari dan Muslim, dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu).
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan lagi saat tahun Fathu Makkah sebagaimana disebutkan dalam hadits ar-Rabi’ ibnu Sabrah dari bapaknya.
(Kata Sabrah radhiallahu ‘anhu, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah kami melakukan mut’ah pada tahun Fathu Makkah ketika kami masuk kota Makkah.
Tidaklah kami keluar dari Makkah hingga beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami melakukan mut’ah.” (HR Muslim, –pent.), lalu melarangnya.
Diizinkan juga dalam perang Hunain (Perang Hunain terjadi setelah Fathu Makkah), kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya.
Baca Juga: Apakah Dosa Zina Bisa Diampuni, Ini Penjelasannya?
Atas hal itu, para kaum muslimin semuanya mengharamkan nikah mut’ah.
Bahkan, sebagian sahabat, seperti Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma, membolehkan nikah mut’ah dan menyangka bahwa nikah mut’ah ini dibolehkan karena darurat.
Namun, Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu mengingkari pendapat Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma tersebut.
Ali berkata kepada Ibnu Abbas, “Sungguh, kamu adalah orang yang bingung yang keluar dari jalan yang lurus (dalam urusan ini).”
Nikah mut’ah haram sampai hari kiamat. Mereka yang membolehkan nikah mut’ah (orang-orang Syi’ah –pent.) menampakkan bukti terbesar bahwa mereka tidak mengikuti Ali bin Abi Thalib.
Sebab, Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu meriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa mut’ah itu haram sampai hari kiamat.
Ali radhiallahu ‘anhu juga mengingkari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma yang membolehkan mut’ah.
‘Hubungan suami istri’ yang terjadi dengan pernikahan mut’ah itu teranggap zina sehingga berlaku hukuman berzina (Baca juga: Hukum Menikahi Wanita Pezina Menurut Pandangan Islam) bagi diri pelakunya dalam keadaan dia tahu batilnya mut’ah tersebut”.
Nikah mut’ah berbeda dengan Nikah Siri, begitu pula dengan Nikah Badal
Jika nikah mut’ah adalah hubungan pernikahan yang yang terikat pada suatu waktu tertentu, maka nikah siri adalah Nikah yang atas dasar kemauan suami, para saksi pernikahan harus merahasiakannya dari orang lain sekalipun kepada keluarganya.
Atau dalam arti lain, nikah siri adalah hubungan pernikahan yang tidak diketahui oleh orang lain selain pasangan tersebut dan saksi nikahnya.
Sama halnya dengan Nikah mut’ah, nikah siri pun haram hukumnya dalam islam, yang didasarkan oleh sabda Rasulullah;
لا نكاح إلا بولي
“Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali.”
Sedangan pengertian dari Nikah Badal sendiri adalah bentuk pertukaran istri seperti layaknya barang dagangan, bahkan biasanya dengan tukar-tambah, atau hanya pertukaran ‘tikar’ untuk dapat mencicipienaknya milik orang lain.
Sama halnya seperti nikah mut’ah dan nikah siri, nikah badal pun termasuk ke dalam salah satu pernikahan terlarang dalam islam.
Kembali pada topik tentang nikah mut’ah, rukun nikah mut’ah -menurut Syiah Imamiah- ada:
- Shighat, seperti ucapan : “aku nikahi engkau”, atau “aku mut’ahkan engkau”.
- Calon istri yang diutamakan adalah seorang wanita muslimah atau kitabiah.
- Mahar, dengan syarat saling rela sekalipun hanya satu genggam gandum.
- Jangka waktu tertentu.
Syarat Nikah Mutah
Sedangkan syarat-syarat nikah mut’ah ialah:
1. Adanya ijab qabul
Menunjukkan atau menimbulkan pengertian yang dimaksud dan rela dengan pernikahan mut’ah dengan cara yang dimengerti kedua belah pihak.
2. Mengerti dengan yang dimaksudkan dengan:
- Aku mut’ahkan
- Aku nikahkan
- Aku kawinkan
3. Ijab dan qabul diucapkan dengan bahasa arab bagi yang mampu mengucapkannya.
4. Menentukan dan menyebutkan mahar tatkala membacakan akad.
5. Orang yang melangsungkan akad (yang menikah) itu harus berakal dan berusia baligh.
6. Anak putri yang telah mencapai usia baligh dan rasyidah yaitu telah mampu mengidentifikasi kemaslahatannya apabila ia ingin bersuami.
Jika ia seorang perawan maka ia harus meminta izin dari orang tuanya atau dari kakeknya (dari pihak ayah).
Namun apabila ia tidak lagi perawan dan keperawanannya hilang lantaran pernikahan (sebelumnya) maka ia tidak lagi memerlukan izin dari ayah atau kakeknya (dari pihak ayah).
7. Wanita dalam proses berlangsungnya akad temporer (mut’ah), ia tidak terikat akad permanen (daim) atau temporer (mut’ah) dengan orang lain (bukan istri orang lain) dan juga tidak berada dalam masa iddah akad permanen atau temporer orang lain.
8. Pria dan wanita harus ridha dan rela atas pernikahan dan bukan karena terpaksa (atau dipaksa) sehingga keduanya menikah.
9. Demikian juga wanita tatkala ingin melangsungkan akad dengan seorang pria, (hal itu dapat dilakukan) apabila ia telah melangsungkan akad lainnya dan telah mendapatkan talak atau masa akad mut’ahnya telah habis maka masa iddah juga telah ia lalui (iddahnya sudah habis).
10. Syarat lainnya adalah bahwa wanita yang telah menikah dan terikat dengan akad lainnya tidak melakukan zina dengan seorang pria yang ia niatkan untuk menikah dengannya; karena apabila seorang pria berzina dengan seorang wanita yang telah menikah maka wanita itu haram bagi pria tersebut untuk selamanya.
Contoh kisah nikah mut’ah yang ada di Indonesia:
Seorang perempuan datang kepada saya menanyakan tentang peristiwa yang terjadi terhadap dirinya.
Wanita itu bercerita, bahwasannya ada seorang tokoh, yaitu Sayid Husain Shadr pernah nikah mut’ah dengannya dua puluh tahun yang lalu, lalu ia hamil dari pernikahan yang dilakukannya tersebut.
Setelah puas, dia menceraikan saya. Setelah berlalu beberapa waktu saya dikarunia seorang anak perempuan.
Wanita itupun bersumpah, bahwasannya, dirinya hamil atas hasil hubungan pernikahannya dengan Sayid Shadr, sebab waktu itu tidak ada yang nikah mut’ah dengannya kecuali Sayid Shadr.
Setelah anak perempuannya dewasa, dan menjadi seseorang gadis cantik dan siap untuk dinikahi, namun sang ibu mendapati anaknya tersebut telah hamil.
Ketika ditanyakan ihwal kehamilan yang tengah dialaminya, wanita itu mengabarkan bahwasannya, Sayid Shadr telah melakukan mut’ah dengannya hingga akhirnya dirinya hamil akibat mut’ah tersebut.
Sang ibu tercengang dan hilang kendali dirinya lalu mengabarkan kepada anaknya bahwa Sayid Shadr adalah ayahnya.
Lalu diceritakannya mengenai pernikahannya (ibu wanita) dengan Sayid Shadr dan bagaimana bisa hari ini Sayid Shadr menikah dengan anaknya dan anak Sayid Shadr juga?!
Kemudian dia datang kepadaku menjelaskan tentang sikap tokoh tersebut terhadap dirinya dan anak yang lahir darinya. Sesungguhnya kejadian seperti ini sering terjadi.
Salah seorang dari mereka melakukan mut’ah dengan seorang gadis, yang di kemudian hari diketahui bahwa dia itu adalah saudarinya dari hasil nikah mut’ah.
Sebagaimana mereka juga ada yang melakukan nikah mutah dengan istri bapaknya. Di Iran, kejadian seperti ini tak terhitung jumlahnya.
Firman Allah Ta’ala, “Dan orang-orang yang tidak mampu menikah hendaklah menjaga kesucian (diri)nya sehingga Allah mampukan mereka dengan karunia-Nya.” (QS. An-Nur:33)
Kalaulah mut’ah dihalalkan, niscaya Allah tidak akan memerintahkan untuk menjaga kesucian dan menunggu sampai tiba waktu dimudahkan baginya untuk urusan pernikahan.
Tetapi Dia akan menganjurkan untuk melakukan nikah mutah demi memenuhi kebutuhan biologisnya daripada terus-menerus diliputi dan dibakar oleh api syahwat.
Baca Juga: Menikah Saat Hamil 3 Bulan? Ini Status Anak & Pernikahannya
Itulah beberapa hal yang bisa kita pelajari, terkait apakah nikah mut’ah halal, dan dalil tentang nikah mutah, maupun terkait beberapa kutipan yang didapat dari beberapa makalah nikah mut’ah/
Beberapa penjelasan dan contoh juga adalah diceritakan dalam beberapa sejarah nikah mut’ah yang terjadi. Baik dalam sejarah nikah mut’ah menurut syiah, dan lainnya.
Beberapa hal lain yang bisa dipahami juga terkait tentang nikah tahlil dan nikah syighar.
Namun, saran, untuk menggali informasi lengkap bisa baca beberapa artikal terkait lainnya. Sehingga, mantap dalam menyimpulkan, diperbolehkan atau tidak nikah mut’ah dalam Islam.
Sekian yang bisa disampaikan, semoga informasi ini dapat bermanfaat. Terimakasih. Salam.
One thought on “Nikah Mutah: Dalil, Syarat dan Contoh di Indonesia”